#2 Secta Altum - Table Manner Class
- 민희경
- Feb 2, 2021
- 26 min read
Updated: Feb 19, 2021

HEO BARAM
Hulu adam jenama Heo Baram mengangguk tatkala figur pengajar di depan sana tengah beri penjelasan ihwal pelajaran sejarah dunia nang kini memusat kepada sejarah Timur Tengah. Buku tebal di tangan kanan sang guru lantas diberi unjuk kepada para siswa, benda itu bercorak coklat kusam nan mana pinggirannya sudah terlihat cukup banyak sobekan. Ia memang cukup banyak tertarik dengan sejarah dunia entah mengapa. Pelajaran yang satu ini memang menjadi pelajaran kesukaan adam di antara pelajaran lainnya.
ㅤㅤ “Pada /chapter/ lima puluh empat, menceritakan tentang masa kepemimpinan Yazid II. Di masa pemerintahan Yazid II terjadi pemberontakan Al-Irak yang dipimpin oleh Yazid Al-Muhallab.”
Sang pengajar membuka vokal, membuat seluruh mata insan di dalam sana tertuju langsung kepadanya. Beliau membuka bagian buku tersebut dengan kedua tangan, dwimaniknya tak beralih dari tumpukan kata-kata dalam bahasa Inggris lama nang menurutnya cukup sulit untuk diartikan dalam sekejap.
ㅤㅤ “Setelah mendengar berita kematian Omar, Yazid Muhallab kabur dari penjara dan pergi ke Al-Basyra untuk mengumpulkan pasukan. Di masa kepemimpinan Yazid II, Yazid II tidak melanjutkan sistem pemerintahan pemimpin sebelumnya ...”
Beliau menggantungkan kalimatnya. Ada jeda untuk mengambil napas jua memperhatikan air muka para murid nang dominan tak memedulikan sebab terlalu banyak informasi yang harus dicerna dalam kilat.
ㅤㅤ “... melainkan Yazid II mengubah sistem menjadi senang berfoya-foya (hedonisme) sehingga fungsi keuangan lebih condong untuk memenuhi pesta dan kesenangan sang pemimpin.”
Lagi-lagi Heo Baram menganggukkan kepala sembari kuasa kanan nang genggam bolpen tinta hitam itu menuliskan ringkasan dari apa yang tengah sang pengajar ucapkan. Sejarah Timur Tengah di masa lampau memang cukup sulit ditampung oleh siswa kebanyakan jikalau tidak memahami permulaan dari itu semua.
ㅤㅤ “Kekalahan berada di pihak Yazid Muhallab kala itu sebab kematian Maslama, saudaranya, sehingga Yazid Muhallab berpikir bahwa hidupnya tak berharga dan kemudian terbunuh.”
Membelalak dwimanik tatkala mendengar untai kalimat dari sang pengajar. Ditilik murid-murid lain di dalam kelas, nampaknya sudah banyak nang hendak gugur sebab rasa bosan. Lain halnya dengan tuan muda Heo, antusias sekali ia ‘tuk kembali mendengarkan apa yang sang guru tengah jelaskan.
Ia menuliskan dalam bentuk kalimat ringkas di buku tulis ihwal pelajaran hari ini. Ketertarikannya pada jagat sejarah Timur Tengah nampaknya ‘kan buat sang adam berselancar di internet lebih dalam setelah pelajaran selesai. Pun, kemungkinan besar akan pinta Pak Nam untuk mencari buku bertajuk The Caliphate: Its Rise, Decline, And Fall.
ㅤㅤ “Setelah Yazid Muhallab meninggal, keluarga Muhallab dan para pengikutnya lantas dimusnahkan.”
Bukan satu-dua kali adam Heo terperanjat dalam kisah masa lampau kekhalifahan Timur Tengah nang diceritakan oleh sang pengajar di depan sana. Hari ini mereka membahas bagian ke-lima puluh empat di mana kisah dominan diisi oleh Yazid Muhallab sebagai pemimpin nang lantas gugur bersama keluarga dan pengikutnya.
ㅤㅤ “Yazid II sendiri diceritakan bahwa ia jatuh cinta terhadap salah satu budak perempuannya. Namun kematian budak perempuan yang ia cintai membuatnya hancur dan terpuruk, Yazid II meninggal di umur 40 tahun dan berkuasa lebih dari 4 tahun.”
Tatkala diri tengah terlena dengan penceritaan sang pengajar, lonceng berbunyi nyaring nang lantas menggema di dalam ruang kelas. Sejenak hening, pun pengumuman berkumandang kemudian.
ㅤㅤ “Seluruh siswa-siswi diharap datang ke aula sekarang. Saya ulangi, seluruh siswa-siswi diharap datang ke aula sekarang.”
Akhir dari warita itu menggantung adam nan cipta hela napas kasar. Ia baru hendak hanyut ke dalam materi, lamun pengumuman nan bersifat memerintah itu jelas sekali tak dapat dibantah tuan. Anak-anak lain nampaknya sudah kembali bersemangat sebab dapat keluar dari jerat sejarah dunia yang membosankan.
ㅤㅤ “Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan di pertemuan selanjutnya. Silakan kalian ke aula dan mengikuti instruksi di sana.”
Tepuk pada meja menjadi tanda untuk murid-murid di dalam kelas menyegerakan keluar dari bilik belajar. Heo Baram menyimpan bukunya di laci meja, lantas membuntuti anak-anak lain menuju tempat yang disebutkan.
Alih-alih langkah ini dipercepat, Heo Baram terbuai oleh cendayam cakrawala membentang tepat di atas kepala. Tatkala ia mendongak, dipertemukan langsung manik kembarnya dengan legiun mega molek berlayar bersama sang pawana.
Sampai pada akhirnya adam itu tiba di lokasi utama. Dititahkan masuk, dipertemukan dengan gerombolan murid-murid dari berbagai kelas nang sudah hadir lebih dahulu. Di atas sana, ada sosok asing menarik atensi adam seketika. Dwinetra berlindung tesmak itu menyipit, bertanya-tanya siapakah gerangan.
Tanya nang melambung di benak pula beranak, apa yang akan ia lakukan di sini bersama sosok asing di depan sana? Walakin perbahasan menimbulkan praduga usai pandangnya mengedar di setiap sudut aula; ditangkap oleh manik meja bundar nan tersebar pula kursi mengelilingi, di atas meja tersedia jua alat makan nan lengkap. Oh ... acara makan-makan, mungkin?
PARK DOJIN
Hari ini, Park Dojin berangkat menuju sekolah seperti biasa, sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Mengingat mata pelajaran hari ini yang... lumayan membosankan namun tidak seribet itu, Park Dojin berniat untuk cabut saja.
Namun, kalau dipikir-pikir, dirinya sudah bolos kelas berapa kali bulan ini? Senakal-nakalnya dia, Park Dojin tidak ingin dikeluarkan sekolah padahal tahun pertama belum saja berakhir.
Lagipula, mata pelajaran pagi ini... seperti yang Dojin bilang, tidak sesulit itu.
Menghela napas berat, ia pun melangkah menuju kelas. Tepat saat ia melangkah memasuki kelas, bel masuk berbunyi.
𝑊𝘩𝑎𝑡 𝑡𝘩𝑒 𝐹... batinnya sambil menatap tajam bel yang berada di dalam kelas.
Ia berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan buku-buku penting nan tebal—untuk membangun benteng agar tidak ketahuan bermain ponsel. Tak lama kemudian, guru pun masuk dan langsung mengajar.
Langsung mengajar, setelah ia mengucapkan salamnya. Wow. Gyeonghan, seriously?
Park Dojin tentu saja sibuk bermain dengan ponselnya dan sesekali memerhatikan penjelasan sang guru sembari berdoa agar tidak diberikan tugas.
Saking terfokusnya bermain dengan ponsel, ia sampai tidak sadar kalau jam pelajaran sudah berganti guru. Jadilah Dojin terkaget ketika guru yang sedang mengajar berbeda dengan sebelumnya.
"Sejak kapan ganti..." gumamnya.
Namun, rasa kagetnya berubah menjadi penasaran ketika mendengar sebuah pengumuman.
“Seluruh siswa-siswi diharap datang ke aula sekarang. Saya ulangi, seluruh siswa-siswi diharap datang ke aula sekarang.”
Park Dojin terdiam sebelum berpikir, 𝑅𝑎𝑧𝑖𝑎 𝑘𝑎𝘩? 𝐴𝑑𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑘𝑎𝘩?
Dengan instruksi dari pengumuman tersebut, kelas pun dibubarkan dan seluruh murid segera bergerak menuju aula. Ia bercanda dengan kawannya sembari berjalan menuju lokasi yang dituju.
Sesampainya di aula, Park Dojin melihat kerumunan dari kelas lain juga sudah berkumpul. Juga... sosok asing di atas panggung.
... Juga, meja yang sudah tertata rapi di aula.
Park Dojin menyipitkan matanya untuk melihat ada apa di atas meja bundar tersebut.
Peralatan makan... tanpa makanan...
Aneh. Park Dojin memiliki firasat buruk tentang hal ini. Baiklah, sudah waktunya seorang Park Dojin untuk cabut kelas.
"Eh, aku ke toilet dulu," ujarnya pada sang kawan dan segera melesat pergi dari aula.
Park Dojin memiliki firasat mereka akan melakukan apa di aula dan Dojin menolak untuk ikut serta.
Nope. Nope. Noppity nope.
Mari bolos ke perpustakaan dan menikmati wifi!
MIN HEEKYUNG
Min Heekyung membolak-balikkan buku essay yang tengah ia baca, Jinhyeok-ssaem sudah memberikan tugas pada seluruh murid untuk membaca dan memahami essay yang akan dibacakan minggu depan.
Tentunya itu bukan masalah yang besar bagi si gadis Min. Bahasa inggris dan segala tetek-bengek nya ia sudah kuasai.
Netranya hanya menatap nanar anak-anak yang bercanda meskipun kelas masih terdengar hening.
Lagi, ia bisa menggunakan waktu untuk bersantai sejenak setelah seharian ini otaknya bekerja keras dan berpikir untuk mata pelajaran sains.
Cahaya pukul empat sore masuk melewati jendela, dan sebagian mengenai meja yang ditempatinya hingga terasa hangat.
Hal yang disukainya dikala musim dingin menjelang musim semi dengan udara yang begitu dingin, meskipun penghangat di ruang kelas sudah dinyalakan. Tetap tidak bisa menghalangi dinginnya udara yang masuk via celah-celah jendela dan sirkulasi udara.
Jinhyeok-ssaem keluar dari ruangan, membuat seisi kelas menjadi auto-unmute, berisik. Beberapa anak berlarian dan melempar kertas-kertas yang sudah dibuat menjadi lingkaran.
𝘈𝘥𝘶𝘩.. 𝘱𝘶𝘴𝘪𝘯𝘨.
Heekyung mengalihkan pandangannya pada anak-anak yang mulai membuat rasa lelahnya semakin benjadi jadi. Ia menyembunyikan wajahnya sembari bersandar pada meja.
BRAK!!
"Heekyung-ah!"
Belum lama, tidak sampai satu menit ia memejamkan mata seseorang menggebrak mejanya dengan nada suara yang begitu bersemangat. Heekyung mengangkat wajahnya dengan mata yang hampir terpejam dengan rapat.
"Kang Daejun? Ada apa?"
Sosok anak lelaki ini berjongkok sembari tersenyum ke arah Heekyung dan membawa essay bagiannya.
Tebakan, Daejun akan meminta bantuannya untuk membaca Essay. Heekyung memberikannya senyuman ramah, siap untuk membantu anak lelaki itu.
"Tidak, aku hanya ingin membangunkanmu. Hahahahaha"
Kang Daejun spontan tertawa terbahak-bahak karena Heekyung terlihat bersemangat untuk mengajarkannya meskipun gadis itu mengantuk.
"YA!! Kang Daejun!!" Heekyung berteriak sembari mengangkat tubuh, bersiap untuk mengejar lelaki itu dengan sebuah penggaris besi yang bersarang di tangannya.
Kang Daejun lari terbirit-birit menjauhi Heekyung yang sudah siap akan mengamuk padanya.
Heekyung hanya bisa menghembuskan nafas dengan berat, ada saja kelakuan kawannya yang membuat si empu ini semakin tertekan akan rasa lelah yang dialami.
Beberapa anak kelas lain berhamburan keluar kelas dan berjalan di koridor.
Tunggu, ini belum jam keluar kelas. Heekyung melihat jam pada arlojinya. Masih terisisa lebih dari empat puluh menit lagi untuk keluar kelas.
Salah satu anak dari kelas lainnya muncul di ambang pintu kelas sepuluh C. "Kawan-kawan, cepat keluar. Ada guru tamu untuk mengajarkan table manner."
Sorakan terdengar di seluruh kelas, sudah pastinya jam pulang sekolah akan semakin lama jika ada guru tamu seperti ini.
𝘓𝘢𝘨𝘪𝘱𝘶𝘭𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘦𝘳 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯-𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘭𝘢𝘭𝘶.
Apa boleh buat, Heekyung kemudian merapikan mejanya. Memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan membawa barang penting –seperti ponsel dan dompetnya ke dalam saku seragam.
Mengikuti yang lain, ia berjalan keluar kelas dan menuju hall untuk mengikuti pelajaran.
Satu sosok tidak asing mengambil perhatian di ujung matanya. Anak lelaki– ah anak lelaki yang sempat kerasukan di Naganeupsong.
Heekyung mengingatnya, bagaimana bisa ia berjalan berlawanan arah dengan anak-anak lainnya?
"Yaa." Panggil Heekyung, memang kurang sopan. Tapi otaknya berjalan dengan lambat untuk menahan anak lelaki itu dengan cepat.
Min Heekyung mengikuti anak lelaki itu berjalan dengan mengekorinya di belakang, kemudian meraih bagian kerah belakangnya –meskipun penuh usaha karena sosok itu lebih tinggi dari dirinya.
"Kamu siswa yang kerasukan kan? Bukannya hari ini ada kelas tamu di hall?"
Sebenarnya hanya alasan saja Heekyung menarik lelaki itu, ia cenderung tidak peduli akan kenakalan anak lain yang tidak menyeret dirinya.
Heekyung tertarik untuk berteman dengan anak lelaki itu.
Meskipun sempat saling bertegur sapa sekilas, bukan berarti mereka berteman dengan dekat. Maka dari itu, Heekyung melakukan hal ini.
Ia mengalungkan sebelah tangannya pada leher –melirik name tag, Park Dojin.
"Park Dojin the Grandeedolk, pasti kamu akan membolos kan?"
Heekyung mengeluarkan seringainya, kemudian menyeret Park Dojin untuk berbalik arah. Menuju ke arah Hall bersamanya.
"Tidak akan aku biarkan kau akan terus dikusai setan-setan dari desa."
PARK DOJIN
"Yaa.."
Rasa-rasa seseorang memanggilnya, tetapi Park Dojin tidak hiraukan dan tetap berjalan menuju perpustakaan.
Tiba-tiba, ada yang menarik kerahnya dari belakang. Sontak, Dojin kaget dan siap bertempur—lalu tersadar yang menariknya adalah seorang perempuan.
"Kamu siswa yang kerasukan kan? Bukannya hari ini ada kelas tamu di hall?" Gadis itu berkata.
"Eh, ya, aku 'kan mau ke toilet," ujar Dojin, melirik ke arah lain.
Jika ingatannya benar, gadis yang menarik kerahnya ini bernama Min Heekyung, anak kelas sebelah.
Kemudian, ia melirik ke arah seragam si gadis. Benar namanya Min Heekyung dan... seorang Grandeefolk.
𝐻𝑒𝑒... 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑘𝑎𝑠𝑡𝑎? batinnya.
"Park Dojin the Grandeedolk," Min Heekyung berbicara lagi, memanggil nama panjang dan faksinya. Ya Tuhan.
"Pasti kamu akan membolos kan?" lanjut si gadis.
Senyuman yang sangat palsu merekah di wajahnya, "Hehehe, maksudmu apa ya, Nona cantik?"
Tahu saja mau membolos. Ayolah, don't be like this, kawan. Lepaskan saja Park Dojin untuk berkeliaran di area sekolah seperti nyamuk.
"Tidak akan aku biarkan kau akan terus dikusai setan-setan dari desa."
Min Heekyung menyeretnya menuju aula, di mana ia harus berkumpul dengan makhluk-makhluk Gyeonghan lainnya.
"YAK!! NONA!! MIN HEEKYUNG!!!" Park Dojin mencoba lari, "HELPPP SOMEONE KIDNAP ME!!"
KIM TAEWOO
Bunyi detik jam yang terpampang di muka kelas alihkan atensi wira marga Kim pada secarik kertas essay digenggaman. Helaan napas jua disertai selaras dengan suasana disekitar nan semakin riuh lantaran sang pengajar seketika meninggalkan para siswa dengan perintah memahami kembali materi essay.
Romannya bertumpu pada telapak tangan menatap para kawan yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Terlebih pada Daejun dan Heekyung yang nampak bergurau sapa serta berakhir saling mengejar. Taewoo terbahak, lamun belum berniat bangkit dari bangkunya. Seakan ada sebuah perekat super kuat yang mampu menahan empunya untuk tetap pada posisi.
ㅤKembali mengecek jarum panjang jam, Taewoo kembalikan alat tulis beserta carik kertas ke tempat asal- sebut saja tas. Sebenarnya bel tanda pelajaran berganti belum berbunyi akan tetapi dilihat dari waktu yang tersisa sepertinya akan dilanjutkan minggu depan. Setidaknya itu adalah berita bagus pertama hari ini.
"Seluruh siswa-siswi diharap datang ke aula sekarang."
Indera pendengar menangkap jelas pengumuman dari speaker kelas. Seakan terhubung langsung pada seluruh syaraf Taewoo untuk segera bangkit dari duduk dimana sejak tadi ia berangan-angan tentang perekat super kuat musnah begitu saja.
Apa ada berita baik kedua kali ini?
Barangkali seorang dari departemen kebersihan atau tim akreditasi sekolah singgah untuk melakukan pengecekan hingga mengakibatkan kepulangan lebih cepat. Siapa tau. Semoga saja. Mata pelajaran hari ini sejujurnya cukup membosankan, jadi apapun itu yang ada di aula ia berharap bisa meningkatkan suasana hatinya.
ㅤVokal kawan sekelas saling bersahutan memerintahkan seisi ruangan untuk segera meninggalkan kelas. Taewoo bersama salah satu kawan melangkah pergi mengikuti individu dari kelas lain yang diyakini punya tujuan yang sama.
ㅤHiruk pikuk aula sampai pada ambang pintu masuk pun meja-meja bundar tertata rapi. Seorang wanita bersurai panjang nampak memantau dari atas panggung aula dengan tangan terlipat. Alat makan nampak ditata serapi mungkin mencuarkan kerutan pada kening sang pemuda.
Seluruh penghuni aula mendekat pada sisi panggung ketika wanita beroman `sedikit` pemarah itu menyampaikan salam sambutan.
HEO BARAM
Tatkala persona di atas panggung membuka suara, atensi adam langsung tertuju kepadanya. Salam sambutan menggema di setiap sudut aula, mengalun laksana nyanyian asing nan diserap oleh telinga.
ㅤㅤ “Hari ini kita akan belajar sedikit tentang tata krama di meja makan. Saya Jang Manwol, yang akan menjelaskan materinya.”
Tak heran jikalau Heo Baram rasa tak pernah melihat sosok di depan sana, sebab sang wanita adalah guru tamu nan diundang ‘tuk memaparkan materi yang disebutkan sebelumnya.
ㅤㅤ “Silakan duduk di bangku yang sudah tersedia.”
Ada titah nan lekas mengarahkan murid, buru-buru kebanyakan siswa lain mencari tempat duduk nan sama dengan kawan-kawannya. Senyampang Heo Baram, memilih tempat duduk paling dekat. Ia tak masalah sama sekali untuk dapatkan rekan satu meja dari berbagai kelas, toh ... ini ‘kan dilakukan secara individu.
MIN HEEKYUNG
Min Heekyung tidak bisa menahan senyumnya setelah membuat si anak adam ini sedikit tersiksa karena tarikannya untuk memasuki neraka kedisiplinan saat di meja makan.
"Park Dojin, kau anak kelas atas. Pasti pelajaran ini tidak sulit untukmu, 'kan?" Ujar Heekyung seraya melangkah menuju Hall.
Terdengar guru tamu telah membuka suara dan melakukan perkenalan.
𝘈𝘥𝘶𝘩, 𝘤𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢. Pelajaran sudah dimulai, Heekyung melepaskan pegangannya pada leher Dojin dan menarik lengan pria itu untuk berjalan perlahan menuju salah satu kursi.
"Ayo cepat duduk disini." Ujarnya sembari berbisik-bisik dan menarik Dojin untuk duduk di sampingnya. Semoga saja, mereka tidak ketahuan mengendap-ngendap terlambat masuk.
Heekyung duduk dengan tegap seperti yang anak-anak lain lakukan. Berusaha memperhatikan guru tamu yang telah selesai memperkenalkan diri.
Terlihat mirip dengan Hea-nim, namun guru tamu ini terlihat jauh lebih galak. Sesekali suara pada saat menjelaskan ia tinggikan, membuat Heekyung meringis pelan.
Ia menatap tatanan silverware yang tertata dengan rapih di atas meja, pandangannya tertuju pada salah satu kawan lainnya yang duduk di meja.
Heekyung melirik name-tag yang terpasang pada seragam anak lelaki itu, Heo Baram. Ada satu lagi, Kim Taewoo, satu kelas dengannya dan Taewoo sama nakalnya dengan Daejun –menurut Heekyung.
"Annyeong." Heekyung menyapanya sambil memberikan sedikit gestur melambaikan tangan. Ia tersenyum sekilas ke arah anak lelaki itu. Yang pasti Heo Baram, bukan Kim Taewoo.
Tidak baik 'kan jika Heekyung tidak saling mengenal dengan posisi duduk di satu meja yang sama.
Heekyung memang terkesan tidak ragu untuk menyapa orang asing, bahkan ia sering disebut aneh karena rasa narsistiknya yang cukup berlebihan.
"Urutan silverware yang ditata menunjukkan bagaimana kalian akan menggunakannya. Dari bagian luar terlebih dahulu, baru ke dalam."
Min Heekyung mengangguk-angguk, ternyata mereka belajar table manner benar-benar dari dasar.
"Lihat piring kecil yang berada di samping kiri kalian. Ingat, milik kalian berada di sebelah kiri. Jangan sekali-kali coba mengambil milik orang lain di sebelah kanan. Ini adalah piring roti yang akan digunakan sebelum hidangan utama masuk.
"Manner kalian tolong dijaga, jangan terburu-buru mengambil hidangan dan selalu tawarkan pada orang lain saat kalian akan mengambil hidangan."
Ia melirik kawan-kawannya yang lain, Heekyung sangat tidak berniat untuk mendengarkan materi yang bahkan sudah ia pelajari, apalagi dengan guru pengajar yang terlihat semakin menyeramkan. Posisi duduknya saja sudah membuat gadis itu kesulitan bernafas.
Anak-anak lain sudah diperintahkan untuk mengikuti gestur yang benar saat pengambilan roti yang baik.
"Psst– Baram, Taewoo. Kalian sudah pernah mempelajari ini belum?"
Bukannya memperhatikan, Heekyung malah menunjukkan cara membuka roti dengan sebuah sendok daging. Sesat.
KIM TAEWOO
ㅤDipersilakan menempati salah satu kursi membuat Taewoo mengedarkan pandangan. Nampak beberapa siswi sibuk menjemput kawan masing-masing untuk diajak duduk bersama. Perempuan terkadang memang merepotkan dan Taewoo memaklumi hal itu.
Dengan *setengah* tidak peduli Taewoo temukan salah satu meja yang hanya diisi satu individu. Kontan ia menarik salah satu kursi kemudian menghempas kasar batang tubuhnya. Ia sandarkan punggung sejenak sementara manik mata sedikit demi sedikit melirik pemuda disisi kiri. Belum ada sepatah kata pun yang keluar dari labium em- siapa namanya . . Heo Baram. Kira-kira begitu yang Taewoo baca dari papan nama tersemat pada almamater pemuda tersebut.
"Aku Kim Taewoo dari kelas XC. Salam kenal."
ㅤYa pada akhirnya ia lontarkan sapaan terlebih dahulu, lamun bukan berarti ia terpaksa. hanya saja Taewoo tidak suka berdiam diri diselimuti rasa canggung.
Dua kursi kosong lain kini telah terisi oleh Dojin, kawan membersihkan babi bersama dan Heekyung, teman sekelas. Tidak terlalu buruk. Setidaknya mereka sudah saling kenal.
"Tidak. Ini pertama kali."
"Ya Min Heekyung Apa yang kau lakukan. Perhatikan caranya yang benar."
Yang ia ketahui, meja ini diisi manusia-manusia langka, nampak acuh dan sembrono. Nona Jang boleh jadi meletup jika memutuskan singgah atau tak sengaja menoleh kemari.
ㅤTaewoo belum memulai. Ia masih mematung ditempat menatap awalan kawannya yang terasa tidak beres. Bukan ide bagus untuk mengurusi urusan orang lain jika diri sendiri bahkan punya nilai nol besar dalam praktek. Lagipula untuk apa belajar etika di meja makan? Penjamuan resmi dengan kolega orang tua?
Omong kosong.
Orang tua Taewoo bahkan tak peduli si buah hati memiliki etika atau tidak.
"𝘚𝘪𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶𝘬 𝘴𝘶𝘱. 𝘚𝘦𝘯𝘥𝘰𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘶𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘶𝘩𝘪 𝘈𝘯𝘥𝘢. 𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘶𝘱𝘶𝘵 𝘤𝘢𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴! 𝘉𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘵𝘦𝘨𝘢𝘬."
Tunggu, apa? Mengarah ke luar bagaimana maksudnya. Taewoo ragu. Sup pada mangkok sangat menggiurkan untuk disantap namun ia tidak tau cara mengambilnya. Beberapa kali kuasanya sibuk berputar mencoba menyesuaikan langkah dengan penjelasan yang baru dicerna.
Naas. Ia malah mencipratkan titik-titik kuah sup pada Baram. Sial. Kesan pertama yang buruk.
"Astaga. Maaf tidak sengaja."
Tisu dihadapan diabaikan. Taewoo malah meraih serbet yang sedari awal menetap di paha dan mengusap cairan tersebut dari roman serta tangan sang pemuda. Sama sekali tidak keren.
PARK DOJIN
"Park Dojin, kau anak kelas atas. Pasti pelajaran ini tidak sulit untukmu, 'kan?" ujar Min Heekyung.
Park Dojin sudah pasrah ditarik kerahnya untuk kembali ke aula. Sebal sekali.
Ia mengangguk, "Nde. Tapi, aku tidak suka belajar etika."
Karena belajar etika orang elit sangat menyusahkan dan banyak aturan. Lebih enak makan seperti rakyat jelata. Tapi... kalau masalah ekonomi, memang lebih enak menjadi orang elit.
Tiba-tiba, Min Heekyung melepas kerahnya. Park Dojin bingung, mungkin ia bisa kabur sekarang. Namun, lagi-lagi gadis kelas sebelah ini malah menarik lengannya dan menyuruhnya untuk duduk di salah satu meja bundar yang sudah diisi oleh dua siswa lainnya.
Ia melirik tag nama siswa pertama, namanya Heo Baram. Seperti kenal namanya, tetapi Dojin tidak tahu. Bukan teman sekelasnya.
Lalu, Dojin melirik siswa satunya lagi, Kim Taewoo. Mata Park Dojin berbinar, ternyata ia satu meja dengan kawan seperbabian dan se-klub-nya.
Ternyata benar belajar etika di meja. Park Dojin sudah pernah belajar mengenai table manner saat ia masih kecil. Dia tidak suka sih harus menghapal cara makan, tetapi tetap ia lakukan karena... karena dia anak elit. Jadi ya, memang sudah kewajiban.
"Psst– Baram, Taewoo. Kalian sudah pernah mempelajari ini belum?"
Memang bukan ditujukan padanya, tetapi Park Dojin ikutan melirik. Ia melihat Min Heekyung memotong roti dengan sendok daging.
𝐺𝑖𝑙𝑎 𝑘𝑎𝘩? batinnya. Ia kira Min Heekyung anaknya alim dan jaga image, ternyata sengklek juga. Mirip seperti Gu Jisoo, tapi Min Heekyung sepertinya tidak separah masternya itu.
Merasa Min Heekyung sudah gila, Park Dojin berpikir kenapa ia tidak ikutan menggila juga? Pada dasarnya 'kan dirinya pembuat onar di Gyeonghan.
Ia mengambil pisau untuk mengolesi mentega pada rotinya. Setelahnya, ia menggunakan garpu untuk menusuk roti tersebut dan pisau bekas mentega untuk memotongnya—seperti memakan steak.
Ternyata, mereka sudah lanjut memakan sup. Huft, baiklah, Park Dojin langsung melahap sisa roti yang banyak itu kemudian beralih ke sup.
Sup-nya terlihat menggiurkan. Kalau ia makan layaknya memakan ramen, mungkin dia sudah di dropout dari Gyeonghan.
Ia melirik Taewoo yang sepertinya bingung harus ia apakan sup tersebut. Tak lama kemudian, sup tersebut terciprat dan mengenai Heo Baram.
LOL.
Park Dojin berusaha menahan tawanya. Kasihan kawan semejanya, hahaha.
"Aigoo, Taewoo hyung, makan seperti biasa saja," ujarnya.
"Kau hanya perlu menyeruput kuahnya, dan kalau ada sayuran dan daging di dalamnya, kau kunyah."
Dojin tertawa kecil, benar-benar menahan agar suaranya tidak terlalu besar dan kena tegur manusia yang mengajari mereka table manner.
Ia menyeruput kuah sup dengan sendok.
Kemudian, Dojin meletakkan ponsel di samping mangkuk sup. Ia ingin membaca webtoon lagi.
"Hei, menurutmu mereka akan menyajikan red wine atau jus apel?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Tangannya bergerak untuk menyuap sup lagi.
HEO BARAM
Kala raga terduduk di kursi nan tersedia, bersambung dengan para rekan lainnya nang jua memenuhi meja di mana adam berada. Dwimanik memperhatikan air muka tiap-tiap persona, pula kilat pandangi label nama di pakaian mereka.
“Halo.”
Sapa singkat melambung pelan dengan suara bas nan khas, arkian disambungkan dengan kalimat lain yang berbaris hendak keluar dari bilah bibirnya.
ㅤㅤ “Heo Baram dari kelas X.A.”
Adam itu memalingkan durja sekejap untuk menatap figur wanita di atas sana. Lamun suara seorang nona nang memanggil namanya, buat ia spontan menoleh.
ㅤㅤ “Belum. Belum pernah.”
Ada kepura-puraan di dalam kalimat yang ia utarakan sembari tindak mengikuti arahan dari perempuan nan mengisi materi di atas panggung sana.
Semasa instruksi beralih pada hidangan sup di depan mata, insiden nang hampir kais berang di dalam diri sang adam terjadi begitu saja. Kala seorang pemuda di satu meja beri salam perkenalan dengan mengambai-ambaikan likuid panas kepadanya, benak Heo Baram penaka ingin berteriak ... kapan acara ini akan selesai?
ㅤㅤ “Tidak apa-apa.”
Senyum simpul dilaku, lambai tangan seakan-akan hendak memberi tahu sang pemuda jikalau ia tidak masalah dengan insiden satu itu.
Arkian pembahasan kembali berlangsung dengan lantang vokal perempuan jenama Jang Manwol menggema di dalam aula. Arahan perincian dari sang guru tamu cukup mudah ditangkap sang lanang; bermula dari bagaimana menyantap roti, sampai cara-cara nan baik untuk menyeruput sup hangat.
Tapi sungguh ... kapan ini akan berakhir?
MIN HEEKYUNG
Kedua tangannya mengangkat sup dan meminum kuahnya dengan benar sesuai instruksi yang diberikan. Ia dapat melakukannya dengan benar.
Tapi ujung matanya menangkap sosok Kim Taewoo yang mencipratkan sup yang disediakan, membuat si nona menggulung bibir dan menahan senyum.
Meja ini terlihat agak-kacau, gadis ini menikmati semuanya.
Tapi tidak, ini waktunya untuk serius, kawan-kawan.
Dojin yang bahkan tidak bisa menahan tawa sama sekali, hingga membuatnya sedikit tergerak untuk sedikit menendang kaki Dojin dengan sebuah tatapan tersirat.
𝘋𝘪𝘢𝘮 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘬𝘶𝘭 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪.
Taewoo sepertinya masih belajar, pula Heo Baram yang terlihat tenang meskipun terkena beberapa serangan kekacauan dari kawan satu mejanya— Dojin, Heekyung, dan Taewoo.
Malang sekali, terjebak diantara kita.
Heekyung menarik beberapa tissue, memberikannya pada Taewoo dan Baram agar seragam yang mereka kenakan tidak kotor.
"Hati-hati, nanti Jang Manwol-nim melihat kita." Ujarnya berbisik.
Terlihat disini bahwa Heekyung mampu mengatur dirinya untuk bermain-main dan tidak. Ya, meski separuh bagian dalam dirinya tentu ingin segera angkat kaki dari sini.
"Mungkin akan ada Jus Apel, Park Dojin. Atau soda."
Matanya melihat ke arah beberapa hidangan yang tersaji di atas meja makan. Ternyata, beruntung karena seperti Heekyung mendapatkan sample hidangan mewah, atau lebih tepatnya makan malam lebih awal.
Sebenarnya tidak heran, mengingat bayaran sekolah yang dikeluarkan dirinya yang memiliki pin berwarna emas, tentu tidaklah kecil.
"Makanan-nya enak juga ya, harus dihabiskan." Heekyung bermonolog.
Tangannya membawa sebuah gelas jangkung berisikan air mineral, meneguknya seolah itu Wine, sambil menatap Jang Manwol yang tengah memperagakan hal itu.
Dari yang diketahuinya, bentuk gelas yang digunakan agar aroma wine dapat tercium secara maksimal sebelum meminumnya.
"Poin selanjutnya, jangan mengunyah dengan mukut terbuka, jangan bersuara, dan jangan berbicara selagi ada makanan di dalam mulut."
Jang Manwol begitu menekankan saat menjelaskan poin ini, benar saja. Karena orang Korea pada umumnya makan dengan keras. Seperti saat makan keluarga atau ramyeon, diakhiri erangan diakhir suapan mereka.
𝘈𝘱𝘢 𝘦𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘬𝘰𝘳𝘦𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘪𝘢𝘮.
Itu yang dipikirkannya, tapi tidak mungkin juga karena pada fine dining mereka memakan hidangan barat.
HEO BARAM
Terus terang, adam sempat mengikuti kelas tata krama di masa lampau sebab Ayah beri titah. Sebagai salah satu keluarga nan tersohor pula rajin mengikuti pesta makan malam dengan kolega satu bidang, sang Ayah tak jarang menggandeng Heo Baram ‘tuk mengikuti rangkaian perhelatan nan diramaikan oleh insan terkemuka.
Sebab itulah, sang pemuda tidak dapat menikmati hidangan dengan mudah laiknya menyantap sajian di meja makan kediaman. Segala tetek bengek di atas meja makan harus sesuai dengan aturan nan tertera; bagaimana engkau menggunakan peralatan makan nan sesuai dengan hidangan, bagaimana duduk tegap pula kedua tangan tak asal-asalan bertumpu pada sisi meja, dan bagaimana suara dari santapan itu diminimalisir terdengar dari telinga insan di samping. Betul memang, semuanya sudah Heo Baram pelajari di masa lalu kendati sempat ia membangkang sebab rengsa.
Tata letak alat makan pun telah diatur nang mana masing-masing mempunyai tugasnya masing-masing. Pisau untuk memotong roti jelas berbeda dengan pisau ‘tuk menyantap hidangan utama, begitu pula dengan garpu dan sendok yang tersedia, semuanya sudah memiliki tempat tersendiri di meja berbentuk bulat ini.
ㅤㅤ “Hidangan pembuka biasanya terdiri dari dua jenis. /Hot appetizer/ dan /cold appetizer/. Untuk yang panas biasanya disediakan sup, dan yang dingin adalah salad.”
Guru tamu di depan sana bersuara lagi, nang kemudian membuat ia melirik ke atas meja di mana meja mereka mendapatkan sup sebagai hidangan pembuka. Heo Baram tidak melirik ke arah meja lain, mungkin saja ada yang mendapatkan salad sebagai hidangan pertama mereka.
ㅤㅤ “Ciri suatu makanan dapat tergolong ke dalam jenis /appetizer/ ialah yang tergolong ringan dan membangkitkan selera, serta dapat merangsang selera makan.”
Wanita perumpun Jang itu bersuara dengan memperhatikan setiap sudut aula. Matanya yang tajam bagai hendak menerkam siapa pun nan bermain-main di kelas besarnya hari ini.
ㅤㅤ “Duduk tegak, jangan bersandar pada kursi!”
Entah sang perempuan menunjuk ke mana dengan ujung matanya, yang pasti Heo Baram bukan menjadi sasaran sebab sedari awal telah mengikuti arahan nang disuarakan.
ㅤㅤ “Saat memegang peralatan makan, kedua siku tidak diletakkan di atas meja. Ya, seperti Anda yang di sana. Anda dapat mempermalukan diri di hadapan tamu lain kalau seperti itu.”
Pedas ucapan sang pengajar menimbulkan rasa penasaran, ada seorang pemuda dari meja ujung kanan nan menjadi sasaran empuk dari ceramah Ibu Jang.
Memang tidak mudah untuk mengatur murid-murid dari ragam isi kepala dalam sekali ajar seperti ini. Ada yang menganggap hal ini merupakan hal nan sepele, ada pula yang serius belajar nan harap dapat diterapkan di masa depan. Sebagai sosok nang mencinta dunia internasional, Heo Baram pernah mendapatkan satu buah buku diplomasi dari figur konsulat jenderal nang di dalamnya terdapat modul pembelajaran tata krama di meja makan.
Sebab untuk menjadi diplomat yang sering kali diundang makan malam oleh tuan rumah kehormatan, pelatihan tata krama di meja makan ini merupakan hal yang amat penting sebelum mulai bekerja di luar sana. Jikalau salah-salah meski dalam hal sepele seperti makan pun, bisa jadi dapat mempermalukan satu negara.
ㅤㅤ “Jangan memainkan makanan dengan peralatan makan. Usahakan juga untuk mencicipi semua makanan yang disediakan. Lalu, letakkan sendok dan garpu searah jam 5 apabila telah selesai makan.”
Ia dengan serius mendengarkan penjelasan dari sang pengajar. Kala dirasa sudah selesai dengan hidangan pembuka, peralatan makan pun sang tuan letakkan sesuai dengan instruksi nan membahana di dalam aula megah sekolah Gyeonghan.
Sang adam memang tak banyak bicara, sesekali saja pemuda itu melirik ke arah tiga figur asing di sekitarnya nan menempati meja yang sama selama berjalannya acara hari ini. Ia berdeham pelan, teramat pelan, dengan satu tangan menutup bagian mulutnya nan mana menjadi salah satu aturan di pelajaran tata krama ini.
ㅤㅤ “Oke, mari kita lanjut ke hidangan utama atau /main course/. Hidangan utama umumnya berupa masakan daging atau makanan laut.” pengajar tengah menjelaskan panjang-lebar ihwal menu selanjutnya, manik adam menangkap piring berisi daging sapi nan tersedia sudah di hadapannya. Satu-persatu memang makanan disajikan oleh para staf yang membantu.
ㅤㅤ“Hidangan utama dapat disantap dengan dua cara, yaitu cara Amerika dan Eropa. Bila menggunakan cara Amerika, maka biasanya daging dipotong terlebih dahulu sebelum disantap.”
Ia melirik peralatan makan di samping piring nan menyediakan hidangan utama, garpu dan pisau untuk memotong daging sudah tersedia di sana.
ㅤㅤ “Sementara, apabila menggunakan cara Eropa, maka biasanya daging dipotong dengan menggunakan pisau di tangan kanan dan langsung disantap dengan garpu di tangan kiri.”
Ibu Jang berjalan mengitari meja-meja nan diisi oleh para murid Gyeonghan, seolah-olah tengah mencari sosok yang potensial melakukan kesalahan ‘tuk dipermalukan saja sekalian di depan orang banyak. Sayangnya, Heo Baram tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Sebab tuan sudah menggenggam bekal ilmu dari tahun-tahun silam.
ㅤㅤ “Ingat! Jangan menimbulkan suara saat makan. Kalian akan merasa dipermalukan jikalau menikmati hidangan demikian.”
Sang perempuan berhenti di depan meja tempat Heo Baram berada, turut pamer senyum tipis namun misterius sebelum akhirnya melenggang pergi dari sana.
PARK DOJIN
𝑆𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑗𝑎𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛, 𝘩𝑚? batinnya, jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja dengan bosan.
Ponselnya sudah ia masukkan kembali ke saku karena takut disita oleh Jang—Jang Ma— Jajangmyeon nim.
... Siapa ya namanya, Dojin beneran tidak tahu.
“Oke, mari kita lanjut ke hidangan utama atau /main course/. Hidangan utama umumnya berupa masakan daging atau makanan laut.”
Oh... sudah mau makan hidangan utama. Yeay! Dojin sudah bersiap menyantap daging di hadapannya tetapi Jajangmyeon nim mulai berbicara lagi.
𝐴𝑠𝑡𝑎𝑔𝑎... batinnya mendelik ke arah guru aneh yang diundang Gyeonghan ke sekolah untuk mengajar anak SMA cara makan.
Jajangmyeon nim mulai berbicara tentang cara makan Amerika dan Eropa—dan sejujurnya Dojin tidak peduli, dia 'kan orang Korea, kenapa harus ikut-ikutan orang sana?
Makan daging pakai sumpit seperti orang Korea murni, dong! 𝐴𝑠𝑡𝑎𝑔𝑎... 𝐽𝑎𝑗𝑎𝑛𝑔𝑚𝑦𝑒𝑜𝑛 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛-𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛... batinnya sambil memerhatikan guru tersebut mengitari meja-meja, mencari kesalahan para murid untuk diteriaki.
Ya sudah. Terserah. Dojin menuruti cara makan daging yang benar dengan memotong-motong daging terlebih dahulu sebelum menyantapnya.
Terkutuklah Min Heekyung yang sudah menyeretnya ke lubang setan sesaat ini. Ia mencondongkan sedikit badan ke gadis di sampingnya itu.
"Yak, aku akan menuntutmu setelah ini berakhir," bisiknya dengan nada mengancam sebelum menggigit daging digarpunya.
MIN HEEKYUNG
Kelas terus berlanjut, menunjukkan Jang Manwol-nim tengah menjelaskan urutan makan hinngga beberapa ciri khas cara menyantap hidangan ala orang-orang barat.
Memang benar, tata cara dan sopan santun seperti ini datang dari Barat. Termasuk Amerika dan Australia yang didominasi imigran dari Eropa di awal Spanyol melakukan penjajahan dan puncaknya pada Era Ratu Elizabeth pertama, seingat Min Heekyung.
Karena ia termasuk dari kalangan bangsawan, gadis ininpaham betul jika mereka harus menjaga tatakrama dan sopan santun, entah dari mana-pun tatakrama itu berasal.
Hanya kebetulan cara orang Barat yang sering digunakan oleh kalangan Masyarakat modern.
Ya, karena Barat sudah modern sejak jaman Ratu Victoria. Dan korea masih asik dengan kerajaan Joseon dan kependudukan jepang yang menyiksa masyarakat di tanah kelahirannya ini.
Bagaimanapun, sudah takdirnya dilahirkan di kalangan orang-orang kelas atas dengan lingkungan yang sudah mengharuskan mereka memiliki moral tinggi.
Benar saja, Heekyung terlarut dalam pikirannya dengan tangan yang tengah asik memotong daging dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kirinya –cara Eropa. Gadis itu melahapnya dan mengunyahnya dengan anggun, tenang, perlahan namun pasti.
Suara dentingan hells dari guru tamu mendekati meja, melihat ke arah meja yang ditempatinya.
"Kamu, apa perlu berbisik-bisik saat makan?" Suara dengan pitch tinggi membuat Heekyung memejamkan matanya.
𝘊𝘦𝘮𝘱𝘳𝘦𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪. Jujur saja, ia terganggu jika sedang serius seperti ini, Jang Manwol-nim.
Heekyung membuka matanya setelah berkomentar di dalam hati.
Mendapati Park Dojin yang terkena teguran dari Jang Manwol-nim, hingga perempuan berpakaian rapi itu lekas pergi ke meja lain.
Heekyung hanya memberikan senyuman pada Dojin sambil menertawakannya di dalam hati.
𝘙𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘗𝘢𝘳𝘬 𝘋𝘰𝘫𝘪𝘯. 𝘏𝘈𝘏𝘈𝘏𝘈𝘏𝘈𝘏𝘈𝘏.
Rasanya meja yang Min Heekyung tempati tengah ditinggalkan dewi fortuna. Selalu saja terkena teguran keras, sedang sial.
Jika dipikir-pikir daging yang dikonsumsinya ini begitu enak. Solomillo Medium Rare, dimasak dengan cara spanyol hingga daging bagian dalamnya sangat empuk dan melting begitu ia mengunyahnya, tanpa ada rasa bau amis sama sekali. Hanya aroma bawang dan rempah yang memberikan compliment pada si daging. Ah, Gyeonghan memang terbaik soal makanan.
Sesi main course mereka berakhir, Jang Manwol-nim terlihat kembali ke posisi di depan, ia kemudian membuka sebuah tutup, menunjukkan Dessert yang terlihat masih berasap –karena dingin.
"Oh, Lava cake!" Gumamnya, melihat sebuah lava cake dengan taburan gula dan krim yang dibekukan di atasnya.
Jika dibilang, ini adalah menu dessert basic, dan jika fine dining yang sangat wah, hidangan ini tidak akan berada di absen meja makan dan akan digantikan jenis dessert lain yangebih rumit dan kompleks.
Tapi, kue ini menjadi salah satu yang terbaik dilidah Heekyung. Semoga kali ini rasanya tidak mengecewakan.
"Saat main couse selesai dihidangkan, simpan garpu dan pisau kalian di atas piring dengan arah jam sepuluh."
"Server akan segera mengangkat piring kalian dan segala hidangan yang ada di atas meja, termasuk roti yang sudah ada dari awal kalian menyantap."
Heekyung menyimpan sendok dan garpunya, hingga terlihat satu server di setiap meja mengambil bekas piring kotor dan merapikan meja mereka.
Sepertinya, Jang Manwol juga membawa server ini dari hotel berbintang di Seoul.
"Jangan lupa, Manner. Selalu ucapkan terimakasih pada server setiap melayani kalian."
Sesuai arahan Jang Manwol-nim yang berada di depan, Heekyung memberikan senyum saat Server lainnya datang membawakan dessert dan menyajikannya di atas meja.
"Terimakasih." Ucap Heekyung sembari memberikan senyumnya.
"Jika ada hiasan di atas dessert, tinggal angkat dan simpan di bagian lain piring. Jangan sampai kacaukan bentuk dessert nya. Silahkan dimulai."
Mendengar arahan, Heekyung melanjutkan menyantap hidangan dessert-nya.
KIM TAEWOO
ㅤSeulas senyum tertahan dalam birai Taewoo ketika Park Dojin sukses menarik atensi Nona Jang, dalam hal negatif tentunya.
Anggap saja yang terjadi barusan ialah bentuk balas dendam sebab meremehkan dirinya dalam adegan mencipratkan sup tadi. Sudah impas sekarang. Taewoo bisa tidur nyenyak nanti malam.
"Ya kerja bagus Park Dojin, kau keren sekali. Lanjutkan! Aku bangga." sarkasnya menyadari Nona Jang sudah beranjak dari posisi.
Daging dalam piring suah setengah menghilang lantaran dilahap abis layaknya tak diberi makan selama sehari penuh. Meski Taewoo merupakan seorang pemuda dari emblem Swish Lush lamun makanan gratis tidak boleh disia-siakan. Catat itu.
Untungnya daging itu sukses masuk ke perut Taewoo tanpa campur tangan Nona Jang yang bisa kapan saja memprotes bagaimana cara paling sopan agar hidangan tersebut tampak dihormati.
ㅤAula bagai disulap menjadi restoran mewah dipinggir kota dengan manager Nona Jang, pelayan, serta para siswa sebagai pengunjung. Siapapun yang mengatur ini semua patut diacungi jempol, simulasi hari ini jadi nampak seperti sungguhan berkat `mereka`
ㅤ"Terima kasih." ujar Taewoo pada server.
Sekarang saatnya bagi hidangan penutup menunjukkan pesona.
Apa sebentar lagi sesi simulasi restoran mahal akan berakhir? Sayang sekali.
Padahal ruang lain dalam perutnya masih cukup untuk diisi. Menyimpan tabungan untuk kelak agar kawan satu kamar tidak terganggu lantaran Taewoo yang sering /grasak grusuk/ menyeruput Ramyeon pukul satu malam.
ㅤSemua alat makan rasanya telah dipergunakan Taewoo. Kecuali garpu kecil yang diyakini sebagai pasangan serasi untuk lava cake. Diraihnya garpu tersebut setelah ia melepaskan hiasan hijau di atas hidangan.
Sebelum memotong kue, satu hal yang perlu dilakukan.
Bukan merapikan serbet atau merubah posisi jemari dengan benar. Namun menemukan tempat Nona Jang berpijak. Menghidari celotehan saat mencicipi jadi prioritas Taewoo. Ia tak ingin berakhir seperti Dojin serta mendapat cemooh dari tiga individu dalam meja bundar ini.
Aman. Saatnya mengabiskan kue lezat sebelum pulang!
HEO BARAM
Hidangan utama dilahap habis oleh sang empunya nama Heo Baram seusai tersedia di atas meja. Ia pernah membaca jikalau apapun hidangan nan tersedia, setidaknya harus dicicipi untuk menghargai tuan rumah nan telah melangsungkan acara makan-makan. Terlebih jikalau mendapatkan undangan langsung dari diplomat atau konsulat jenderal di kediaman mereka masing-masing. Tidak sopan kalau tamu undangan menolak hidangan yang sudah disediakan.
Selesai dengan makanan utama, hadir kembali makanan penutup di hadapan sang bani Adam. Kue coklat dengan ukuran nan lumayan ‘tuk pencuci mulut lekas ia lahap menggunakan alat makan yang tersedia. Sesekali sang taruna melirik ke arah teman-temannya, walau pada akhirnya ia memusatkan atensi pada kue nang habis dalam sekejap mata.
Arkian usai sudah acara nang berlangsung ihwal tata krama di meja makan nan dilaksanakan oleh sekolah Gyeonggan dengan mendatangkan figur guru tamu jenama Jang Manwol di aula nan agung ini. Memang, bagi beberapa insan, kegiatan seperti ini mungkin sepele nan jua tak perlu diperhatikan teramat detail sebab belum tahu ‘kan berguna di masa yang akan datang. Namun, bagi sebagian orang lainnya, pelajaran tata krama betul-betul bermanfaat bukan sekadar untuk digunakan di acara luar nan formal. Meski tidak harus menggunakan alat makan nan sesuai, tetapi sopan santun te taplah yang perdana tatkala tengah berhadapan dengan orang nan lebih tua.
Heo Baram sendiri, cukup menikmati laju acara hari ini karena sang adam jua dapat belajar lebih banyak dari sosok perempuan di depan sana. Satu sisi atmanya bersuara, jikalau tata cara diri seseorang menikmati makanan pun dapat mendefinisikan karakteristik orang tersebut di mata insan lain. Dan ia sendiri, amat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan itu.
Tatkala diri sudah menyelesaikan hidangan di depan mata nan merupakan hidangan terakhir dari kelas tata krama, Ibu Jang melenggang naik ke atas panggung nan mampu menyoroti seluruh siswa-siswi dari sana. Air muka nampak puas, mungkin sang wanita merasa cukup lega melihat murid-murid Gyeonghan nan dominan mengikuti arahan dengan baik kendati ada pula satu-dua figur yang memilih memasabodohkan pelajaran besar hari ini.
Tetapi tidak untuk Heo Baram. Ia jelas merasa baik nan teramat sangat begitu ilmu-ilmu nan baru sahaja dipelajari, berbaris rapi ‘tuk masuk ke dalam otaknya saat ini. Tidak ada yang salah dengan terus-menerus menambah ilmu yang diberikan secara cuma-cuma. Terlebih, mana tahu kita jikalau di kemudian hari ‘kan berguna.
ㅤㅤ “Terima kasih untuk seluruh siswa-siswi yang telah mengikuti kegiatan ini dari awal sampai akhir.”
Pada akhirnya sang wanita bersuara dengan keras, membuat seluruh pasang mata memusatkan atensi ke arah personanya. Termasuklah Heo Baram, nan duduk tegak dengan dwimanik gelita menatap lurus ke depan sana. Sekilas senyum tipis terpatri di durja Ibu Jang nan laksana tengah memandangi satu-persatu paras murid Gyeonghan dari atas panggung yang ada.
ㅤㅤ “Dengan terselesaikannya kegiatan hari ini, kalian dipersilakan untuk kembali ke kelas masing-masing. Terima kasih atas partisipasi anak-anak sekalian, mungkin kita dapat bertemu lagi di lain waktu.”
Beriring kalimat nan menggema di dalam aula, sang puan turut menghilir dari atas panggung usai riuh tepuk tangan lepas landas. Satu-persatu siswa pun siswi dari berbagai kelas beranjak dari kursi, berjalan dengan tapak kaki nan ringan keluar dari aula agam nan dipenuhi meja bundar untuk sokong kegiatan ini.
Heo Baram melirik ke arah persona-persona nan mengelilingi meja di mana ia berada. Dua tuan dan satu puan yang secara acak dipertemukan dalam satu acara tak terduga. Adam itu bangkit dari tempat duduknya, kemudian membungkuk ke arah rombongan satu meja sebagai pengganti ucap terima kasih nan nampaknya belum siap lolos dari bilah bibir sang adam.
Dilirik kilat mereka yang jua mengikuti acara dari awal sampai selesai, senyum tipis terpatri di roman sang adam sebelum dirinya membuka vokal.
ㅤㅤ “Terima kasih, teman-teman.”
Tatkala tersiah kalimat itu dari mulutnya, Heo Baram berbalik arah dan melangkahkan tungkai kembarnya keluar dari gedung aula. Ia harus melewati kerumunan murid-murid nan jua mengantre ‘tuk pergi dari sana, namun tiada nang berdesak-desakan sampai harus saling mendorong demi cepat sampai.
Acara hari ini menurutnya berjalan dengan baik meski ada satu-dua hal yang membuat dirinya sempat ingin pergi meninggalkan ruangan bahkan sebelum pertengahan acara berlangsung. Sang adam merasa lega sekarang, pula bangga dengan dirinya yang bertahan di antara keramaian yang ada. Hitung-hitung sebagai pembelajaran untuk menjadi persona yang lebih baik dari sebelumnya, ‘kan?
Bahana paksi penaka melodi nan elok mengalun dari punca ranting pohon. Spontan adam melirik walau sekilas, nang mana mereka seolah-olah tengah menyemangati adam Heo sebab sudah berhasil melewati acara hari ini tanpa keluh nan berkepanjangan. Kendati demikian, masih ada beberapa mata pelajaran yang harus ia ikuti sebelum dapat pulang ke asrama. Ya ... dambaan adam ‘tuk cepat-cepat merebahkan dirinya di atas empuk kasur mungkin harus ditunda lebih dahulu untuk beberapa jam ke depan.
Yang pasti sekarang ini, Heo Baram tidak menyesali keputusannya untuk hadir (dan tidak menuruti bisik setan untuk bolos) di acara tata krama yang sudah memberikannya banyak ilmu baru. Meski dahulu sempat belajar, nyatanya masih banyak yang harus adam itu benahi. Memang, semakin banyak diri ini mempelajari ilmu, semakin banyak pengetahuan nan dapat menggantikan yang telah lalu.
PARK DOJIN
Park Dojin cemberut karena Jajangmyeon nim memarahinya. Sebal sekali. Udah lagi wajah Heekyung yang menahan tawa.
Rasa-rasa ingin menggetok pala orang.
Orangnya Min Heekyung.
Taewoo lagi, gara-gara tadi Dojin mengejeknya, sekarang ia mengejeknya balik.
Park Dojin menjulurkan lidah ke Taewoo, sebal kuadrat.
Kemudian, makan utama selesai dan dilanjutkan dengan dessert. Mata Dojin berbinar, tidak sabar untuk memakan makanan manis.
"Jangan lupa manner…"
ASTAGA PUJI TUHAN YESUSーeh, Dojin bukan orang Kristen.
Sedikit melirik pada Jajangmyeon nim, kaget kirain ia tengah ditegur lagi. Dojin mengucapkan terima kasih kepada server yang melayani mejanya.
Tidak ingin terkena semprot Jajangmyeon nimーapapun nama wanita ituーPark Dojin memakan dessert-nya ala ala kelas elit.
Artinya dia memakan dengan /manner/.
Park Dojin selesai memakan dessertnya dan merapikan utensilnya sesuai arahan. Yah, apapun itulah, ia kerjakan sesuai arahan Jajangmyeon nim sekarang.
Kemudian, Jajangmyeon nim naik ke atas panggungーsepertinya mau ceramah.
“Terima kasih untuk seluruh siswa-siswi yang telah mengikuti kegiatan ini dari awal sampai akhir.”
YESーYES FINALLY SELESAI!!!
Park Dojin bisa terbebas dari kelas tambahan-mendadak ini dan meluncur ke kantin atau perpus untuk bermain game!
Park Dojin tidak terlalu mendengarkan apa yang Jajangmyeon nim ucapkan dan mengangguk-angguk saja, sudah tidak sabar untuk jajan di kantin.
Saat yang lain mulai bergerak pergi, salah satu penghuni meja, Heo Baram, membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Park Dojin hanya mengibaskan tangan sambil menyengir, "Sama-sama, semoga kelas tadi menyenangkan, nne~"
Sudah. Selesai. YES.
Dojin tersenyum riang. Ia juga ikut bangkit dari kursinya dan mengucapkan terima kasih pada kawan semejanya.
Dirinya sudah melenggang menuju kantin karena mau jajan es, tiba-tiba seseorang menarik kerahnya lagi.
"FAK!" spontan berteriak, kemudian ia menoleh ke belakang, "YAK JINHO, MAKSUDNYA APA?!"
Ternyata yang menarik kerahnya adalah Cha Jinho, kawan satu klub juga sekelasnya.
"Masih ada kelas loh, mau kemana?" tanya si pemuda dengan seringai laknat di wajahnya.
Park Dojin melongo.
"HAH? BELUM ISTIRAHAT?!"
fin.
Comments